PROSES PEMBUATAN BATIK TULIS


Sebelum membuat batik tulis, alat dan bahan yang harus disiapkan untuk membuat batik tulis adalah sebagai berikut : 
  • Kain mori (bisa terbuat dari sutra atau katun)
  • Canting sebagai alat pembentuk motif,
  • Gawangan (tempat untuk m enyampirkan kain)
  • Lilin (malam) yang dicairkan
  • Panci dan kompor kecil untuk memanaskan
  • Larutan pewarna
Proses pembuatan batik tulis ada beberapa tahan dan tentunya berbeda dengan batik cap berbeda lagi. Proses pembuatan batik tulis adalah :

Nyorek
Menggambar motif batik menggunakan pensil









Nglowong
Melukis dengan lilin / malam menggunakan canting, mengikuti pola pada kedua sisi, bolak-balik.









Nembok
Menutup bagian-bagian pola yang akan dibiarkan terang berwarna putih dengan menggunakan lilin batik.










Medel
Mencelup motif yang sudah diberi lilin batik ke dalam warna biru









Ngerok / Ngebyok
Menghilangkan lilin dari bagian-bagian yang akan diberikan warna sogo (coklat).









Mbironi
Menutup bagian-bagian yang akan tetap berwarna biru dan tempat-tempat yang terdapat cecek.









Nyogo
Mencelup mori ke dalam larutan sogo








Nglorot
Menghilangkan lilin batik dengan air mendidih, tahap ini sekaligus merupakan tahap akhir dari proses batik tradisional.

TIPS MERAWAT BATIK


Banyak orang yang belum mengetahui bagaimana merawat batik dengan benar. Berikut tips-tips untuk merawat Batik :
a.   Kain batik akan lebih awet jika sering dikeluarkan untuk diangin-anginkan agar terhindar dari jamur.
b.   Cara mencuci :
ü  Gunakan sabun pencuci khusus untuk kain batik yang dijual di pasaran, seperti “lerak” dan “Daun Dilem”. Pada saat mencuci batik jangan digosok, jangan menggunakan deterjen. Kalau batik tidak kotor sekali, cukup dicuci dengan air hangat. Sedangkan kalau agak kotor, misalnya terkena noda makanan, bisa dihilangkan dengan sabun mandi. Dan bila kotor sekali, seperti terkena asap knalpot, bisa dihilangkan dengan kulit jeruk dengan cara mengusapkan sabun atau kulit jeruk pada bagian yang kotor.
ü  Saat menggunakan "lerak" untuk mencuci batik, campurkan “lerak” dalam air hangat kuku. Kemudian rendam kain batik tersebut.
ü  Agar warna batik berbahan sutra dan serat tidak cepat pudar, awet dan tetap tampak indah. Cuci kain batik dengan menggunakan shampo rambut. Sebelumnya, larutkan dulu shampo hingga tak ada lagi bagian yang mengental. Setelah itu baru kain batik dicelupkan.
ü  Setelah dicuci kain batik diangin-anginkan di tempat yang teduh, jangan dijemur langsung di bawah sinar matahari karena dapat merusak warna batik.
ü  Jemur kain batik secara rapih agar bila kering langsung rapid dan hindari penyeterikaan. Kalaupun terlalu kusut, semprotkan air di atas kain kemudian letakkan sebuah alas kain di bagian atas batik itu baru diseterika. Jadi, yang diseterika adalah kain lain yang ditaruh di atas kain batik.

c.   Cara Penyimpanan :
ü  Disarankan untuk menyimpan batik dalam plastik agar tidak dimakan ngengat. Jangan diberi kapur barus, karena zat padat ini terlalu keras sehingga bisa merusak batik. Sebaiknya, almari tempat menyimpan batik diberi merica yang dibungkus dengan tisu untuk mengusir ngengat.
ü  Atau dapat disimpan dalam almari yang telah diberi seikat akar wangi. sebelumnya celup dulu akar wangi ke dalam air panas, kemudian dijemur, lalu dicelup sekali lagi ke dalam air panas dan dijemur. Setelah akar wangi kering, baru digunakan.
ü  Kain batik dapat juga di "ratus" dengan cara diasapi dengan dupa ratus selama 1-3 jam. Fungsi ratus untuk memberikan aroma wangi pada kain batik.

d.   Cara Penggunaan :
Anda sebaiknya tidak menyemprotkan parfum atau minyak wangi langsung ke kain atau pakaian berbahan batik sutera berpewarna alami. Bila Anda ingin memberi pewangi dan pelembut kain pada batik tulis, jangan disemprotkan langsung pada kainnya. Sebelumnya, tutupi dulu kain dengan koran, baru semprotkan cairan pewangi dan pelembut kain.

SEJARAH BATIK


Kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik".
Seni pewarnaan kain dengan teknik perintang pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal.
Di Indonesia, Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyaknya pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Kesenian batik mulai meluas dan menjadi milik rakyat Indonesia, khususnya suku Jawa, setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Sampai awal abad ke-XX, batik yang dihasilkan semuanya batik tulis. Batik cap baru dikenal setelah perang dunia ke-I usai, sekitar tahun 1920-an.
Adapun kaitan batik dengan penyebaran ajaran Islam, pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri. Kemudian Batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik.
G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu. Detil ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. Detil pakaian menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih awal.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.
Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis.
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa pada masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga pada masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung". Hal ini karena di beberapa daerah pesisir, pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.

Motif batik
Ragam motif dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam motif dan warna yang terbatas, dan beberapa motif hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga memopulerkan motif phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah motif bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan motifnya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing motif memiliki perlambangan masing-masing.